Untitled-2

Minggu, 18 Maret 2018

TAWAN, “IRON MAN” SEJATI DARI BALI



 legendaqq.net

Felicnewshot, Kepala Tawan tampak tertunduk khusuk. Tangan kanannya tampak seperti mencubit dahinya. Ia berusaha berkonsentrasi penuh.

Pemilik nama asli I Wayan Sumardana (31) ini memakai mahkota yang dipenuhi kabel dan rangkaian elektronik. Kanan kirinya tampak lunglai tak bertenaga yang terlihat disangga berbagai rangkaian besi rongsokan yang ia pakai.

Beberapa detik kemudian, tampak lampu pada rangkaian elektronik di pita kepalanya berkedip. Seketika itu, tangan kirinya bergerak. Tangan yang lumpuh itu seolah kembali bertenaga. Tawan tampak memompa tangannya naik dan turun. Kini, ia siap bekerja sebagai tukang las dengan menggunakan tangan mekanis.

"Mi-nya manis...mi-nya manis....," itu kira-kira yang Tawan pikirkan saat berkonsentrasi, sebelum lengan mekanisnya mendapat pasokan tenaga. Sebelumnya, Tawan baru saja makan mi pedas, namun ia harus berbohong guna menggerakkan alat kerjanya.

"Prinsip kerjanya sepert alat uji kebohongan," kata Tawan saat berada di bengkelnya di Banjar Tauman, Desa Nyuhtebel, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, pekan lalu.

Ketika ia berbohong, maka alat yang dimiliki Tawan mendeteksi kondisi otak Tawan. Jika berbohong, sensor kembali mengirimkan sinyal yang memicu disalurkannya daya ke lengan mekanis Tawan.

Tawan tak bisa menjelaskan pasti, bagaimana teori cara kerja alatnya. Beberapa keterangan Tawan di media massa memang sempat berubah-ubah. Namun, itulah Tawan. Dengan segala keterbatasannya, tukang las itu menjadi fenomena yang menghebohkan dunia.

Dengan alat seberat 9 kilogram itu, Tawan yang pernah menderita stroke ini mampu kembali bekerja. Bahkan, ia mampu mengangkat barang hingga berat 15 kilogram.

Desa Nyuhtebel hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari Denpasar dan bisa ditempuh dengan kendaraan selama 1,5 jam. Walau di pelosok desa, jalan sempit Nyuhtebel sudah beraspal dan dilewati Google Street View. Kita bisa melihat bagaimana kondisi bengkel Tawan yang berantakan dan tampak tak tertata.

Pada pertengahan 2015 lalu, Tawan terserang stroke. Tangan kirinya lumpuh. Dia pun bingung karena sebagai tukang las, dirinya tak mungkin bekerja dengan satu tangan saja.

"Awalnya karena tangan saya tidak bisa digerakkan karena stroke. Saya berpikir, bagaimana kerja kalau tangannya stroke? Makanya, saya membuat rancangan tangan ini. Banyak yang bilang 'tangan robot'," kata Tawan.

Begitu publik tahu berita soal tangan "robot" Tawan, masyarakat seolah terbelah dua. Pertama, mereka yang langsung mendukung kreativitas dan semangat Tawan. Kedua, mereka yang memiliki minat terhadap teknologi dan selalu skeptis dengan sesuatu yang dianggap temuan baru.

Sulit untuk menjelaskan cara kerja tangan mekanis Tawan, mengingat Tawan sendiri tak menguasai teori. Namun, Tawan mengakui bahwa alatnya tidak diperintahkan oleh sinyal otak.

Tawan juga menolak alat kerjanya disebut sebagai tangan robot, apalagi dibandingkan dengan Iron Man. "Ini hanya alat bantu kerja, tidak canggih, sangat sederhana. Saya kira yang lebih baik dari ini banyak, namun yang lebih buruk dari ini saya tidak pernah lihat," kata Tawan.

Tawan mengakui, alatnya tidak bisa dipakai oleh orang lain. Inilah problem serius jika alat bantu Tawan ini disebut sebagai "temuan".

Sebuah temuan haruslah bisa direplika dengan metode dan sistem kerja yang sama. "Cara menggerakkannya sesuai perintah pikiran sendiri kalau mau angkat, mau belok kanan atau kiri," ujar Tawan.

Orang-orang, terutama di media sosial, hiruk pikuk membahas alat kerja Tawan yang kemudian dijuluki "Tangan Robot", "Manusia Robot", "Lengan Robot", bahkan ada yang menjulukinya sebagai "Iron Man". Sebagian hiruk pikuk itu tersedot untuk membahas apakah tangan robot Tawan benar-benar robot canggih yang bekerja dengan sinyal otak ataukah hanya sekadar tipuan mengada-ada dari Tawan.

Tawan tak bisa menjawab berbagai pertanyaan yang begitu tinggi. Di media sosial, pada akhirnya tuduhan hoax (menipu) lebih kencang dibandingkan penyemangat agar Tawan bisa terus menjalani hidup pascastroke. Ia yang hanya lulusan Jurusan Elektro Sekolah Teknik Menengah (STM) Rekayasa, Denpasar, memilih untuk mempersilakan pengritiknya untuk memberikan bantuan agar alat kerjanya bisa bekerja maksimal.

Tawan menyebut tangan mekanisnya bekerja dengan sistem electroencephalography (EEG). Menurut Kamus Oxford, EEG adalah teknik merekam aktivitas listrik di bagian yang berbeda di otak dan mengubah informasi ini menjadi suatu pola atau gambaran, baik secara digital maupun dicatat di atas kertas yang dinamakan sebagai electroencephalogram.

Sederhananya, dalam konteks Tawan, ia menggerakan tangan mekanisnya melalu perintah pikiran. Terlihat sebuah rangkaian elektrik melingkar di kepalanya untuk menangkap sinyal otak.

Persis di tengah bagian depan kepalanya, ada lampu yang berkedip menandakan alat itu bekerja. Sumber tenaganya adalah baterai lithium.

Menurut Tawan, alat di kepala itu berfungsi mendeteksi sinyal otaknya. Sinyal yang ditangkap kemudian diteruskan ke rangkaian elektronik untuk memicu gerakan aneka komponen mekanis yang membungkus tangan kirinya yang lumpuh.

Motor penggerak lengan mekanisnya menempel di punggung Tawan. Sebuah aki kering sebagai sumber tenaga gerak motor menyatu dengan berbagai rangkaian komponen di punggung itu.

“Robot” tangan seberat 9 kilogram tersebut dirakit dari berbagai barang bekas, seperti besi, baut, mur, kabel, dan peralatan pendukung lainnya.

Diragukan

Keraguan atas karya Tawan kemudian bermunculan di jagad maya. Umumnya, netizen mengritisi rangkaian komponen di punggung Tawan. Sejumlah netizen menyebut “robot” itu hoax alias tipu-tipu. Seorang netizen asal Makassar, Asad Abdurrahman, menulis pada dinding Facebook-nya soal keraguan rangkaian komponen buatan tangan.

Misalnya, ia mengritisi, papan sirkuit (PCB) dalam rangkaian komponen di punggung Tawan. Menurut Asad, papan sirkuit yang tampak butek itu sulit dipahami jika memiliki peran dalam rangkaian elektronik "robot" tangan Tawan. Setiap papan sirkuit, kata dia, memiliki peruntukannya sendiri. Jadi, tidak bisa asal digunakan.

"Dari PCB itu kelihatan ada port PS/2 berwarna putih. Jadi, teridentifikasi PCB itu dari suatu device yang terkoneksi ke PC. Lalu, PCB merah di atas baterai PCB mouse," tulis dia.

Sinyal otak dan EEG

Keraguan atas Tawan umumnya didasari karena latar belakang pendidikan Tawan yang kerap disebut “hanya lulusan STM”. Sementara, teknologi electroencephalography (EEG) adalah inovasi yang bahkan tak setiap doktor bidang robotika mampu melakukannya.

Arjon Turnip, perekayasa kursi roda dengan teknologi EEG dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tercengang sekaligus ragu dengan “robot” tangan Tawan. "Saya sampai speechless. Saya meneliti bertahun-tahun dan belum bisa membuat seperti itu," katanya.

Arjon mengatakan bahwa dirinya tak mampu menilai kebenaran inovasi Tawan sebab tak melihat langsung. "Kalau ada di sana, saya bisa bertanya macam-macam. Tapi dengan teknologi yang ada sekarang, itu terlalu maju," jelasnya ketika dihubungi Kompas.com, Sabtu (23/1/2016).

Sebagai peneliti, Arjon sangat ingin menghargai inovasi. Namun melihat inovasi yang terlalu canggih dari Tawan, Arjon tak bisa memaksa diri untuk tidak meragukan. Dua hal yang dipertanyakan Arjon antara lain letak elektroda dan cara pengolahan sinyal dari otak.

"Kalau kita lihat elektrodanya ada sedikit di atas telinga. Itu letaknya terlalu ke bawah," kata doktor rekayasa mekanik lulusan Pusan University, Korea itu.

"Lalu dia bilang untuk menggerakkan tangan kiri, elektrodanya dipasang di sebelah kanan. Tidak sesederhana itu aplikasinya," ia menambahkan.

Arjon menuturkan, untuk menggerakkan robot dengan pikiran, dibutuhkan konsentrasi. Bagian otak yang berperan untuk konsentrasi ada di bagian depan. Namun, gerakan robot EEG tak hanya melibatkan satu bagian otak. Untuk motorik ada di bagian kanan dan penglihatan di belakang.

Tentang pengolahan sinyal, Arjon mempertanyakan alogaritma yang digunakan. "Sinyal dari otak itu ibarat jarum di tumpukan jerami. Sulit ditangkap dan banyak sampahnya. Itu harus diolah dulu. Butuh akurasi tinggi dalam pengolahan agar bisa buat gerakan halus seperti ditunjukkan Tawan," jelasnya.

Sinyal dari otak sangat kecil, kurang dari 60 mikro volt. Secara teoretis, agar bisa digunakan untuk menggerakkan alat, sinyal harus diperbesar. Teknologi untuk perbesaran sinyal memang tersedia. Tapi, konsekuensi dari perbesaran adalah noise yang besar. Itu harus dibereskan.

Setelah diperbesar, sinyal perlu dipotong. Ada penyesuaian frekuensi dan amplitudonya. Selesai dipotong, sinyal perlu diekstrak. Terakhir, sinyal harus diklasifikasikan sesuai dengan gerakan yang ingin dibuat. Alogaritma khusus diperlukan untuk tiap tahapan.

Proses mengolah sinyal otak sendiri tak mudah. "Untuk kursi roda saya saja, itu mati-matian buatnya. Akurasinya belum tinggi. Padahal itu hanya untuk maju, belok kanan, belok kiri. Punya Tawan itu gerakannya bermacam-macam dan halus sekali. Itu yang membuat saya ragu," jelas Arjon.

Tak bisa dicoba orang lain

Menurut Tawan, tangan robotnya tidak bisa dipakai orang lain karena khusus dirancang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.

Dosen Jurusan Teknik Mesin Universitas Udayana (Unud), Dr I Dewa Gede Ary Subagya, menyempatkan diri berkunjung ke bengkel Tawan. Ia mencoba “robot” tangan Tawan, tapi gagal menggerakkannya.

”Saya tadi sempat mencoba. Memang ada power pada alat itu, cuma saya belum bisa mengerakkan alat itu,” jelas Gede Ary saat ditemui di kediaman Sutawan, Jumat (22/1/2016).

Ary mengamati, ada alat perekam atau penyimpan data pada “robot” tangan Tawan. Juga ada beberapa jenis sensor elektronika.

I Wayan Widiada, ST, MSc, PhD yang juga dosen Jurusan Teknik Mesin Unud mengamati, meskipun desain lengan robot tersebut sangat sederhana karena menggunakan barang-barang bekas, secara struktur sudah memenuhi prinsip kerja robot.

"Berdasarkan pengamatan saya, lengan robot yang dibuat oleh Sutawan tersebut, jika dilihat dari prinsip kerja robot, hal tersebut masuk akal," ujar  Widiada.

Berdasarkan pengamatannya, ban kepala yang dipakai Tawan mungkin menggunakan komponen EEG yang fungsinya untuk mendeteksi sinyal elektris di otak. Lalu sinyal kemudian diubah menjadi bentuk gelombang yang akan dikirim ke micro controller.

"Ada kok micro controller-nya meski agak tertutup, tapi saya sempat lihat," katanya.

Dari micro controller ini akan dikirim sinyal menuju motor. Kemudian, output yang dihasilkan berupa respona yakni gerakan atau torsi. Ada dua motor penggerak di bagian persendian lengan robot itu.

"Yang perlu diketahui bagaimana sistem programnya, apa yang menjadi setting command-nya," ujarnya.

Gelombang Mu

Dr Fritz Sumantri Usman Sr, SpS, FINS, seorang ahli saraf dan juga ahli saraf intervensi, mengungkapkan, secara teori, Tawan mungkin saja mampu membangkitkan gelombang Mu di otaknya. Mu merupakan gelombang yang berkaitan dengan aktivitas motorik atau gerak.

Menurut Fritz berdasarkan sejumlah jurnal kedokteran, memang hanya gelombang Mu di otak yang bisa diubah menjadi kinetik atau gerak. Gelombang Alfa, Beta, Teta, dan Delta tidak bisa diubah menjadi gelombang kinetik.

"Jika gelombang Mu itu dikumpulkan, diperbesar, gelombang itu bisa digunakan sebagai pusat tenaga. Setelah diolah sirkuit elektronik tertentu, alat itu menstimulus otot-otot di lengan supaya bisa bergerak," terang Fritz kepada Kompas.com, Sabtu (23/1/2016).

Akan tetapi, menurut Fritz, seseorang perlu banyak berlatih untuk bisa mengaktifkan gelombang Mu. Gelombang Mu biasanya muncul saat seseorang rileks. Dengan menggunakan elektroda di kepala dan EEG, gelombang di otak tersebut bisa terlihat. EEG merupakan alat untuk merekam aktivitas listrik di otak.

Namun, secara logika, untuk menangkap lebih banyak gelombang Mu, Tawan sebaiknya juga meletakkan elektroda itu di puncak kepalanya. Sebab, menurut Fritz, gelombang Mu paling banyak terdapat di puncak kepala dan di sekitar telinga.

"Mungkin dia (Tawan) sudah terlatih bisa mengaktifkan gelombang Mu. Makanya dia bilang itu alat cuma bisa dipakai dia sendri. Secara logika memang gelombang Mu tidak bisa timbul seketika pada semua orang," lanjut Fritz.

Fritz mengungkapkan, di dunia juga sudah dilakukan penelitian serupa. Di luar negeri, sudah dikembangkan terapi robotik untuk membantu pemulihan pasien stroke.

Teknik inframerah dekat

Alat uji kebohongan (lie detector) saat ini didominasi oleh sistem tradisional yang metodenya menggunakan poligraf. Poligraf ini bekerja dengan mengenali perubahan fisiologis yang terjadi di tubuh, missalnya tekanan darah, denyut nadi, pola napas dan keringat.

Sensor-sensor poligraf biasanya dipasang pada sekitar dada/perut, lengan, dan ujung jari. Namun, dalam satu dekade ini, seorang profesor dari Drexel University's College of Medicine, Scott Bunce, mengembangkan teknik lie detector menggunakan gelombang “inframerah dekat” (disebut functional near-infrared sensor atau fNIR) yang sensor utamanya berada di jidat kepala.

Video Pengojek Remas Payudara Siswa sampai Sakit

Felicnewshot - Polisi meringkus pria berinisial M (47), karena diduga melecehkan seorang anak perempuan secara seksual. Aksi peleceh...